Total Tayangan Halaman

Senin, 30 April 2012

Dakwah di keluarga ( khususnya untuk yang nge-kost )


Kalau di kurikulum mentoring sering kita mendengar istilah birul walidain , saya tidak akan memaparkan materi tersebut disini. Tapi saya akan sedikit berbagi pengalaman bagaimana saya terus membinan hubungan yang sangat baik dengan keluarga sehingga keluarga mendukung total aktifitas dakwah saya dan terjadi keseimbangan hak dan kewajiban saya sebagai anak terhadap keluarga. Saya akan berbagi tips, khususnya untuk yang tinggal bukan di rumah alias nge-kost.  Setelah 3 tahun kuliah di ITB, maka sudah tiga tahun pula saya tidak banyak menetap di rumah, dan ini tentunya menjadi sebuah kehilangan tersendiri bagi sosok papa dan mama karena satu per satu anaknya tidak lagi tinggal di rumah.
Pertama-tama kita perlu memahami dulu psikologi keluarga kita, setiap keluarga punya etika dan tata cara tersendiri, dan biasanya faktor suku dan adat menjadi variabel utama. Saya berasal dari keluarga keturunan minang, dimana faktor keluarga sangat mendalam. Saya mencoba memahami bagaimana mama saya yang sangat tidak bisa jauh dari anaknya, dan papa saya yang terus bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya agar bisa bertahan dan sukses di masa yang akan datang.Kedua, kita mencoba memahami apa sih yang dibutuhkan orang tua dari anaknya, buat saya orang tua saya membutuhkan dua hal utama dari saya, yakni pembuktian prestasi akademik dan terus memberi tahu keadaan terkini dari diri saya.   Untuk ke adik saya yang masih tinggal di rumah saya memahami bahwa ia sosok adik yang senang diberi hadiah.
Dari kedua pemahaman diatas kita bisa menyesuaikan diri terkait bagaimana kita bersikap kepada keluarga meskipun kita tidak dirumah agar keluarga selalu memberikan ridhonya kepada kita ( ini nih yang penting, ridho Allah adalah ridho orang tua ).  Sebagai seorang anak kedua dari empat bersaudara, dimana saya juga berasal dari ITB’s family ( keluarga dimana papa mama dan anak-anaknya kuliah di iTB ) saya mencoba memberikan yang terbaik di sisi akademis saya, baiknya nilai atau IP saya di setiap semester juga berpengaruh kepada kepercayaan orang tua untuk mengikhlaskan kita melakukan aktifitas non-akademis. Sebetulnya orang tua bukan tidak mengizinkan kita berdakwah, akan tetapi orang tua hanya khawatir akademik anaknya berantakan karena agenda non-akademis. Oleh karena itu kita tinggal membuktikan kepada orang tua bahwa kita bisa tetap berprestasi meskipun kita sibuk. Pada awalnya saya juga menemui kesulitan, karena terlambat adaptasi kuliah di ITB, akan tetapi sejak semster 3, alhamdulillah berkat berkah dakwah juga, IP saya selalu diatas 3,00, bahkan semester kemarin ( semester 6 ), IP saya mendekati 4,00. Sebuah pencapaian yang sangat membanggakan orang tua tentunya dan membuat orang melihat bahwa kita anak yang bertanggung jawab dan bisa mengatur diri dengan baik ( baca : dewasa ).
Memberi kabar dimana pun dan hendak akan kemana atau melakukan apa diri kita. Saya selalu terbiasa meng-sms mama atau menelpon ketika saya akan atau telah melakukan sebuah aktifitas, seperti ketika saya mau mengisi pelatihan diluar kota, atau ketika saya mau ujian, dan setelah ujian, ketika saya mau mendapat sebuah amanah, atau ketika saya sedang melihat pengumuman nilai. Dengan memberi tahu apa yang kita kerjakan, akan membuat orang tua tenang tentunya.
Dalam kondisi tidak di kost mungkin itu yang bisa kita lakukan, oh ya, kejutan kecil juga bisa kita lakukan untuk membahagiakan orang tua seperti memberi kado ulang tahun atau sengaja pulang ke rumah untuk mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan, dan sebagainya. Nah, jika kita telah di rumah apa saja yang bisa kita lakukan, pada dasarnya tips nya hanya dua hal, penuhi apa yang diingkan orang tua dan sebisa mungkin dekat dengan orang tua. Saya jika sudah di rumah, biasanya banyak menghabiskan waktu di rumah, atau mengikuti aktifitas orang tua, seperti menemai mama belanja, atau bantu beres beres rumah, yah mencoba berbakti selagi ada di rumah. Orang tua juga senang jika ketika kita di rumah, pintu rumah dibuka oleh kita, atau makan bersama orang tua. Untuk ke adik, saya biasanya mengajaknya jalan-jalan atau mengajaknya makan diluar.
Setelah itu semu bisa kita lakukan barulah kita bisa berdakwah di keluarga, sebetulnya sikap kita yang baik bisa dikatakan sebagai bentuk dakwah juga kepada orang tua, seringkali saya mengamati kader dakwah justru tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak, sehingga orang tua merasa ada yang berubah sejak anaknya mengikuti aktifitas dakwah. Kita perlu meyakinkan dengan bukti bahwa setelah mengikuti aktifitas dakwah, diri kita menjadi semakin baik dan semakin berbakti. Mungkin khusus perempuan, bisa Anda membuktikan dampak dakwah dengan pandai memasak untuk keluarga.
Bentuk dakwah yang bisa dilakukan antara lain adalah mengajak keluarga untuk shalat subuh berjamaah, atau puasa sunnah bersama, atau mungkin mengikuti pengajian bersama. Membangun kebiasaan berkeluarga yang Islami bisa dimulai disini, tujuan dari dakwah keluarga adalah semakin dekatnya keluarga dengan Allah, semakin terdengarnya Al Qur’an di rumah. Saya pribadi merasakan dampak positif dari dakwah yang saya lakukan di kampus.
Dampak dari lain dari adanya kepercayaan keluarga kepada diri kita adalah dukungan penuh untuk dakwah yang kita lakukan di kampus. Saya merasakannya, orang tua saya sangat mendukung, tidak hanya dukungan moril, materil pun sering diberikan. Selain itu ridho orang tua terhadap kegiatan saya juga diberikan, bahkan ketika saya meminta izin untuk lulus lima tahun karena ingin menjadi Presiden BEM KM ITB , orang tua mendukung total, dan mengizinkan saya untuk lulus lima tahun.
Itulah mungkin sepenggal pesan yang bisa saya sampaikan kepada anda semua aktifis dakwah kampus, jangan sampai karena anda terlalu aktif di kampus, keluarga anda tinggalkan, karena keluarga merupakan elemen dakwah terkecil yang harus kita penuhi, jangan sampai anda menjadi kader yang dicintai teman seperjuangan akan tetapi tidak disenangi di keluarga. Karena ridho Allah adalah ridho orang tua.

Tidak ada komentar: