Kalau di kurikulum mentoring sering kita mendengar istilah birul walidain , saya tidak akan
memaparkan materi tersebut disini. Tapi saya akan sedikit berbagi pengalaman
bagaimana saya terus membinan hubungan yang sangat baik dengan keluarga
sehingga keluarga mendukung total aktifitas dakwah saya dan terjadi
keseimbangan hak dan kewajiban saya sebagai anak terhadap keluarga. Saya akan
berbagi tips, khususnya untuk yang tinggal bukan di rumah alias nge-kost. Setelah 3 tahun kuliah di ITB, maka sudah tiga
tahun pula saya tidak banyak menetap di rumah, dan ini tentunya menjadi sebuah
kehilangan tersendiri bagi sosok papa dan mama karena satu per satu anaknya
tidak lagi tinggal di rumah.
Pertama-tama kita perlu memahami dulu psikologi keluarga
kita, setiap keluarga punya etika dan tata cara tersendiri, dan biasanya faktor
suku dan adat menjadi variabel utama. Saya berasal dari keluarga keturunan
minang, dimana faktor keluarga sangat mendalam. Saya mencoba memahami bagaimana
mama saya yang sangat tidak bisa jauh dari anaknya, dan papa saya yang terus
bekerja keras untuk menyekolahkan anaknya agar bisa bertahan dan sukses di masa
yang akan datang.Kedua, kita mencoba memahami apa sih yang dibutuhkan orang tua
dari anaknya, buat saya orang tua saya membutuhkan dua hal utama dari saya,
yakni pembuktian prestasi akademik dan terus memberi tahu keadaan terkini dari
diri saya. Untuk ke adik saya yang
masih tinggal di rumah saya memahami bahwa ia sosok adik yang senang diberi
hadiah.
Dari kedua pemahaman diatas kita bisa menyesuaikan diri
terkait bagaimana kita bersikap kepada keluarga meskipun kita tidak dirumah
agar keluarga selalu memberikan ridhonya kepada kita ( ini nih yang penting,
ridho Allah adalah ridho orang tua ). Sebagai seorang anak kedua dari empat
bersaudara, dimana saya juga berasal dari ITB’s family ( keluarga dimana papa
mama dan anak-anaknya kuliah di iTB ) saya mencoba memberikan yang terbaik di
sisi akademis saya, baiknya nilai atau IP saya di setiap semester juga
berpengaruh kepada kepercayaan orang tua untuk mengikhlaskan kita melakukan
aktifitas non-akademis. Sebetulnya orang tua bukan tidak mengizinkan kita
berdakwah, akan tetapi orang tua hanya khawatir akademik anaknya berantakan
karena agenda non-akademis. Oleh karena itu kita tinggal membuktikan kepada
orang tua bahwa kita bisa tetap berprestasi meskipun kita sibuk. Pada awalnya
saya juga menemui kesulitan, karena terlambat adaptasi kuliah di ITB, akan
tetapi sejak semster 3, alhamdulillah berkat berkah dakwah juga, IP saya selalu
diatas 3,00, bahkan semester kemarin ( semester 6 ), IP saya mendekati 4,00.
Sebuah pencapaian yang sangat membanggakan orang tua tentunya dan membuat orang
melihat bahwa kita anak yang bertanggung jawab dan bisa mengatur diri dengan
baik ( baca : dewasa ).
Memberi kabar dimana pun dan hendak akan kemana atau
melakukan apa diri kita. Saya selalu terbiasa meng-sms mama atau menelpon
ketika saya akan atau telah melakukan sebuah aktifitas, seperti ketika saya mau
mengisi pelatihan diluar kota, atau ketika saya mau ujian, dan setelah ujian,
ketika saya mau mendapat sebuah amanah, atau ketika saya sedang melihat
pengumuman nilai. Dengan memberi tahu apa yang kita kerjakan, akan membuat
orang tua tenang tentunya.
Dalam kondisi tidak di kost mungkin itu yang bisa kita
lakukan, oh ya, kejutan kecil juga bisa kita lakukan untuk membahagiakan orang
tua seperti memberi kado ulang tahun atau sengaja pulang ke rumah untuk
mengucapkan selamat ulang tahun pernikahan, dan sebagainya. Nah, jika kita
telah di rumah apa saja yang bisa kita lakukan, pada dasarnya tips nya hanya
dua hal, penuhi apa yang diingkan orang tua dan sebisa mungkin dekat dengan
orang tua. Saya jika sudah di rumah, biasanya banyak menghabiskan waktu di
rumah, atau mengikuti aktifitas orang tua, seperti menemai mama belanja, atau
bantu beres beres rumah, yah mencoba berbakti selagi ada di rumah. Orang tua juga
senang jika ketika kita di rumah, pintu rumah dibuka oleh kita, atau makan
bersama orang tua. Untuk ke adik, saya biasanya mengajaknya jalan-jalan atau
mengajaknya makan diluar.
Setelah itu semu bisa kita lakukan barulah kita bisa
berdakwah di keluarga, sebetulnya sikap kita yang baik bisa dikatakan sebagai
bentuk dakwah juga kepada orang tua, seringkali saya mengamati kader dakwah
justru tidak memenuhi kewajibannya sebagai seorang anak, sehingga orang tua
merasa ada yang berubah sejak anaknya mengikuti aktifitas dakwah. Kita perlu
meyakinkan dengan bukti bahwa setelah mengikuti aktifitas dakwah, diri kita
menjadi semakin baik dan semakin berbakti. Mungkin khusus perempuan, bisa Anda
membuktikan dampak dakwah dengan pandai memasak untuk keluarga.
Bentuk dakwah yang bisa dilakukan antara lain adalah mengajak
keluarga untuk shalat subuh berjamaah, atau puasa sunnah bersama, atau mungkin
mengikuti pengajian bersama. Membangun kebiasaan berkeluarga yang Islami bisa
dimulai disini, tujuan dari dakwah keluarga adalah semakin dekatnya keluarga
dengan Allah, semakin terdengarnya Al Qur’an di rumah. Saya pribadi merasakan
dampak positif dari dakwah yang saya lakukan di kampus.
Dampak dari lain dari adanya kepercayaan keluarga kepada diri
kita adalah dukungan penuh untuk dakwah yang kita lakukan di kampus. Saya
merasakannya, orang tua saya sangat mendukung, tidak hanya dukungan moril,
materil pun sering diberikan. Selain itu ridho orang tua terhadap kegiatan saya
juga diberikan, bahkan ketika saya meminta izin untuk lulus lima tahun karena
ingin menjadi Presiden BEM KM ITB , orang tua mendukung total, dan mengizinkan
saya untuk lulus lima tahun.
Itulah mungkin sepenggal pesan yang bisa saya sampaikan
kepada anda semua aktifis dakwah kampus, jangan sampai karena anda terlalu
aktif di kampus, keluarga anda tinggalkan, karena keluarga merupakan elemen
dakwah terkecil yang harus kita penuhi, jangan sampai anda menjadi kader yang
dicintai teman seperjuangan akan tetapi tidak disenangi di keluarga. Karena
ridho Allah adalah ridho orang tua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar